'Captain Fantastic' (2016) Review



Setelah menonton film ini, mungkin jika ditanya film favorit saya di tahun 2016, jawabannya bukan lagi diantara Moonlight, La La Land, atau Manchester by The Sea, melainkan Captain Fantastic. Tentunya favorit tidak harus yang paling bagus secara teknis bukan? karena jujur film ini memang masih jauh dari sempurna, namun film inilah yang paling bisa saya nikmati.

Captain Fantastic sendiri merupakan feature film kedua dari seorang aktor sekaligus sutradara, Matt Ross. Bercerita tentang keluarga yang hidup terisolasi di hutan yang jauh dari peradaban luar, Ben Cash ( Viggo Mortensen, Aragorn di Lord of The Rings ) memberikan pendidikan yang berbeda dari pendidikan formal biasa untuk anak anaknya, yang masing-masing memiliki nama unik yang hanya terdapat satu di dunia (salah satunya diperankan Annalise Basso yang sudah sangat sukai sejak pertama menontonnya di film Oculus, hehe), seperti kemampuan bertahan hidup di berbagai tempat, dan juga berbagai macam ilmu pengetahuan hanya lewat buku-buku. Namun, segalanya berubah saat keluarga mereka harus pergi berpetualang kembali ke peradaban setelah kematian ibu mereka, dan mereka harus menjalani misi mengunjungi pemakamannya, walaupun ditolak oleh kakeknya. Cerita yang cukup menarik, unik maksudnya (menarik bukanlah sebuah kata menurut Ben), dan realistis, pertama kali saya mengira film ini akan dipenuhi kejadian tidak realistis dan komedi, dan beruntung saya salah.

Bagian awal film ini sedikit mengingatkan saya kepada film Dogtooth, dimana keluarganya diisolasi dengan alasan untuk melindungi dari dunia luar, yang sama juga seperti film ini walaupun dengan cara berbeda, dan dilain pihak mengingatkan saya juga pada salah satu film favorit saya yaitu Little Miss Sunshine, pada banyak hal, yang pasti dapat dengan mudah disadari jika sudah menonton film tersebut. Menarik melihat metode pendidikan kepada anak-anak dari Ben (Bo, Kielyr, Vespyr, Rellian, Zaja, Nai) digambarkan memiliki kecerdasan dan ilmu pengetahuan yang beragam dan mendalam yang hanya didapatkan lewat buku-buku (yang secara tersirat disampaikan bahwa metode ini lebih baik dari pendidikan modern sekarang), seperti kemampuan mereka berbicara dalam banyak bahasa (yang hanya boleh dilakukan jika menjadi bahasa umum di suatu tempat), kemampuan memahami berbagai istilah politik, hukum, ekonomi, bahkan biologi, dan mungkin masih banyak lagi, yang dicontohkan oleh Zaja dengan menyebutkan Bill of Rights dengan mudahnya diluar kepala. Sama halnya juga kemampuan fisik (disini dibilang setara dengan atlet professional, dan kemampuan bertahan hidup (seperti berburu menggunakan senjata sungguhan, navigasi menggunakan bintang, bahkan rock climbing), serta budaya kejujuran tanpa pengecualian yang diajarkan disini.  Setelah menonton film ini, rasanya saya sendiri akan sangat senang jika bisa mencoba gaya hidup seperti itu.




Film ini dipenuhi dialog yang kaya, penuh dengan referensi dan jelas tidak ditulis dengan asal asalan dan tetap dibawakan dengan ringan sehingga tidak akan membingungkan, film ini juga menghadirkan momen-momen emosional tanpa harus berlebihan, ditambah lagi dengan humor cerdas yang membuat saya bertahan selama hampir 2 jam tanpa rasa bosan sedikitpun. Petualangannya disini juga dibuat sedemikian mungkin sehingga penonton juga bisa merasakan petualangan "kebudayaan" mereka di dunia modern, dimana kita bisa merasakan perbedaan yang mencolok, bagaimana perubahan sedikit demi sedikit yang terjadi di keluarga mereka,bagaimana idealisme keluarga ini terbentur realita, sampai munculnya pertanyaan terhadap diri mereka sendiri, menjadi dilema. Semua itu dibawakan dengan arahan yang tepat dari Matt Ross dan juga akting yang luar biasa dari semua cast-nya. Dari segi visual dan scoring film ini juga bisa dibilang luar biasa, dengan pemandangan-pemandangan menakjubkan yang kita lihat sepanjang perjalanan film ini, dan tentunya diiringi soundtrack yang dengan tepat mengiringi film ini, dengan mudah paduan keduanya menjadi pemanja mata dan telinga penonton, sekaligus pengatur mood yang pas bagi penonton.

Salah satu adegan yang unik namun berkesan di akhir film ini adalah adegan kremasi yang diiringi oleh lagu Sweet Child O' Mine milik Guns N' Roses yang dibawakan oleh keluarga ini. Setelah petualangan yang tidak bisa dipungkiri sangat menyenangkan, membingungkan, dan merubah hampir segalanya di keluarga ini, tetapi kita kembali diingatkan disini dengan scene terakhir, bahwa inti dari film ini adalah tentang keluarga, bahwa dengan apapun yang terjadi, apapun yang berubah di akhir mereka tetaplah keluarga, seperti yang diungkapkan Ben di awal film. Entah mengapa saya merasa film ini sedikit underrated, mungkin juga tidak, dengan hanya mendapat 1 nominasi oscar lewat Viggo Mortensen sebagai Best Actor, dan juga sayang sekali mengingat film ini tidak sempat tayang di Indonesia, kedepannya? saya rasa juga tidak, kemungkinannya kecil. Namun seperti yang saya bilang diawal film ini jelas merupakan favorit saya di tahun 2016.

Share on Google Plus

About otongmas

0 comments:

Post a Comment